Baru saja dua orang teman meninggalkan rumah ketika seorang teman yang biasa saya panggil Pak Haji datang. Seperti biasa Pak Haji selalu bersilaturahi ke rumah. Pak Haji adalah seorang pedagang sop yang sudah cukup dikenal di daerah saya. Segmen pembelinyapun untuk kalangan menengah ke atas. Bagi saya, membeli satu porsi sop di Pa Haji sama saja dengan uang belanja istri untuk satu hari.
Pak Haji adalah orang yang selalu berfikir dengan logika, karenanya saya terkadang membahas hal-hal yang dapat dicerna dengan akal sehat dengannya.
Sambil duduk Pa Haji memperhatikan barang-barang yang saya pegang. Sebelum ia bertanya, saya dahului dengan penjelasan.
“Barang-barang ini dari teman-teman yang baru pulang itu, ji. Mau saya buang di sungai,” kataku.
“Ya, kalau tidak mau menampung biar saya saja yang simpan,” ujarnya.
“Serius, ji?” tanya saya. “Terus terang haji kan tahu, saya ngak mau berhubungan dengan barang-barang seperti ini,” tambah saya.
“Ya sudah, sini saya yang simpan.” Balas haji.
Setelah Pa Haji pulang, saya catat dalam buku harian bahwa barang tersebut disimpan oleh Pa haji dan dalam hati saya ingin memantau perkembangan selanjutnya.
Sekitar 3 hari kemudian Pa haji datang berkunjung dan menceritakan bahwa ia merasa heran karena lampu listrik di rumahnya sering mati dan harus diganti yang baru. Saya hanya membalasnya mungkin karena memang sudah terlalu lama, maka sudah waktunya untuk diganti yang baru.
Satu minggu kemudian Pa Haji berkunjung lagi. Kali ini ia melaporkan bahwa sanyo untuk menyedot air ke bak mandi rusak dan harus diganti yang baru. Saya coba tawarkan kepadanya cadangan sanyo yang masih baru yang saya miliki, namun ia menolak dan akan membeli sendiri.
Beberapa hari kemudian Pa Haji datang kembali. Kali ini ia menceritakan kebingungannya bahwa tanpa sebab yang jelas kok sekarang ia sering bertengkar dengan istrinya. Saya hanya bisa menasehatinya untuk bersabar.
Kira-kira satu bulan kemudian Pa Haji datang lagi berkunjung. Kali ini dia kelihatan benar-benar mempunyai masalah yang berat.
“Ada apa, Ji.” Kata saya.
“Wah, bahaya. Bulan ini saya gak bisa bayar ke pasar langganan saya ngambil bahan-bahan dagangan. Dan yang lebih parah, saya gak bisa bayar bank untuk bulan ini.” Tutur Pa Haji.
Saya diam sejenak. Kasihan melihatnya. Saya tidak bisa membantunya secara financial.
Setelah isya saya berkunjung ke warung Pa Haji yang kebetulan sedang sepi pengunjung. Saya dipersilahkannya duduk.
“Ji, saya ingin bertukar pikiran.” Saya memulai pembicaraan.
“Silahkan.” Balasnya.
“Saya punya seorang teman namanya “A”. Dan teman saya si “A” ini punya teman namanya “B”. Si teman saya ini sudah tahu karakter si “B”. Tiap teman saya si “A” sedang sukses, selalu saja si “B” ini tidak senang. Dan terkesan selalu berupaya supaya si “A” teman saya selalu sengsara.” Saya memulai sharing dengan Pa Haji.
“Terus.” Pa Haji bersemangat ingin tahu kelanjutan cerita saya.
“Saya heran Ji, pada teman saya si “A” ini.” Lanjut saya.
“Kenapa memangnya.” Balas Pa Haji serius.
“Teman saya si “A” ini mempersilahkan temannya si “B” tinggal di rumahnya.” Lanjut saya. “Menurut Pa Haji gimana?” tambah saya lagi.
“Wah, bodoh tuh orang. Sudah tahu orang seperti itu kok malah ditampung!” sahut Pa Haji.
“Yang jadi masalah, teman saya si “A” itu sampeyan, Ji?!” tambahku.
“Loh…loh, apa hubungannya dengan saya?”
“Ji, setahu saya… jin itu lebih condong menjerumuskan manusia gak bener, ngerusak, yang lebih baik dihindari gaul ama mereka..” jawab saya.
Pa Haji kelihatan tambah bingung dengan penjelasan saya. “Tadinya saya mau diam saja. Tapi, saya kasihan lihat Pa Haji. Makanya, mungkin sekarang inilah harus saya jelaskan kondisi yang sedang menimpa Pa Haji. Bisa saja saya salah, tapi bisa saja saya benar.”lanjut saya.
Pa Haji diam memandang saya dengan mimic serius.
“Pa Haji tahu kan aktivitas saya selalu berhubungan dengan barang-barang yang Pa Haji simpan? Kalo saja saya mau mengkoleksinya, mungkin sudah ada satu kamar penuh bermacam-macam barang seperti itu. Tapi, itu tidak saya lakukan. Karena saya tidak mau berurusan dengan barang-barang itu. Nah, sekarang… dimana barang itu Pa Haji simpan?” Tanya saya.
“Oh…ya….ya.. saya baru ingat! Saya simpan di kamar tidur, di laci lemari.” Jawab Pa Haji.
Beberapa menit kemudian datang istri Pa Haji, memberi salam lalu berbincang-bincang dengan Pa Haji, lalu ia menghampiri saya.
“Iya, Mas Zen. Saya gak tahu kalau Pa Haji nyimpan barang-barang begituan, apalagi disimpan di kamar!” cetusnya.
“Mas Zen… ayo ke kamar saya..!” ajak Pa Haji. Saya mengikutinya di iringi istri Pa Haji.
“Ya Allah!!! Bapak ini gimana sih! Nyimpan barang begitu di kamar tidur kita…! Bener Mas Zen, saya gak tahu.” Teriak istri Pa Haji.
“Ya sudah. Lebih baik sekarang saya sama Pa Haji membuang barang ini ke sungai besar itu.” Ujar saya sambil menerima buntalan kain putih yang diikat tali dari kain juga.
Saya dan Pa Haji membuang barang-barang tersebut dan lalu saya jelaskan kepada suami istri itu bahwa boleh saja kita tidak percaya kepada barang-barang yang katanya bertuah dan dengan sombongnya kita menganggap remeh mereka, tapi bagaimana bila memang barang tersebut bereaksi terhadap sikap kita tersebut?
Pa Haji sudah mengalaminya. Dan sekarang ia tidak mau lagi menampung barang-barang seperti itu bila saya mendapatkan yang baru. Dan Alhamdulillah, kondisi Pa Haji berangsur membaik kembali.
Ini benar-benar kisah nyata tapi saya sendiri merasa aneh.
Syareat Hakekat Zenbae dapat diakses di
Sabtu, 15 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
salah sendiri zen, kenapa ia menduakan kamisama kita (Allah), coba klo dia hanya percaya sama Allah, pasti nggak begitu ceritanya, hehehe
cerita ini bener2 menimpa seorang teman yg gak percaya ama hal2 begitu, pas terjadi... dia gak tau harus gimana.
kasian bagt seh zen, temannya, yach semoga dia segera bertobat amien, tenang aja kan ada P' ustad zenbae wkwkwkw
Amiiiin..... dont worry,be happy,, betul kata akina-san, kan ada pak ustadz... hihihi
Asyik jg nih duaan aja.
bertiga tahu senpai, senpai seh jarang berkunjung kesini wahahahaha, sibuk jualan ma ngerayu sapa tuh???? wahahaha
Posting Komentar