Minggu, 07 September 2008

Asal Usul Hadits Puasa Daud

Sekedar untuk mengingatkan rekan-rekan yang oleh Allah SWT diberikan kemudahan untuk dapat melaksanakan puasa Nabi Daud A.S, maka saya muat di bawah ini beberapa hadits yang insya Allah shahih tentang asal usul dilaksanakannya puasa Nabi Daud A.S tersebut.

Dengan pengetahuan ini diharapkan kita termasuk orang yang menjalankan apa yang Allah SWT nyatakan di dalam surat:

Surat 17. AL ISRAA- Ayat 36:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”


Juga di dalam HaditsWeb, memuat sebagai berikut:

Kewajiban Mengikuti Syari’at dan Larangan Melakukan Bid‘ah

Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, maka hal itu tertolak.” Dalam riwayat yang lain –Rasulullah- bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan tanpa ada dasar dari urusan (agama) kami, maka ia tertolak.”

TAKHRIJ HADITS RINGKAS
Lafal yang pertama diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718). Sedangkan lafal yang kedua diriwayatkan oleh Muslim (hadits no. 1718), sedangkan Bukhari menyebutkannya dalam salah satu bab dalam Shahih-nya di juz ke-6 halaman 2675.

BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS ‘AISYAH –radhiyallahu ‘anha-
Ia adalah ‘Aisyah putri khalifah-Rasulullah Abu Bakar (Abdullah) bin Abu Quhafah (Utsman) bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim keturunan suku Quraisy. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyah.
Ia lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kerasulan Nabi. Pada usia 6 atau 7 tahun ia dinikahi oleh Rasulullah setelah istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat, tepatnya 2 atau 3 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah. Rasulullah baru hidup serumah dengannya ketika dia berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-2 H sepulangnya beliau dari Perang Badar Kubra. Sebagai istri Rasulullah, ia pun mendapat sebutan Ummul Mu’minin. Ia merupakan isteri yang paling utama dan paling dicintai oleh Rasulullah dibandingkan dengan istri-istri beliau yang lain selain Khadijah –radhiyallahu ‘anha- (karena ada perbedaan pendapat dalam hal siapakah yang lebih utama antara ‘Aisyah dan Khadijah). Dan ketika Rasulullah wafat, usianya baru mencapai 18 tahun.

Kun-yah-nya adalah Ummu Abdillah, nisbat kepada Abdullah bin az-Zubair (bin Al-‘Awwam), anak Asma’–kakaknya seayah–. Semenjak menjadi pendamping Rasulullah, dia sekaligus menjadi murid beliau. Dia banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, bahkan dia termasuk di antara tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Sedangkan di kalangan wanita, secara mutlak dia adalah wanita yang paling fakih dalam hal agama.

‘Aisyah juga digelari Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq. Ia mendapat pembelaan dari Allah ketika difitnah telah berbuat tidak senonoh dengan salah seorang sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin Mu’aththal yang dikenal sebagai kisah al-Ifki dan Allah mengabadikan pembelaan-Nya terhadap ‘Aisyah dalam surat An-Nur ayat 11 dan beberapa ayat sesudahnya.

Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang disandang oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Salah satunya adalah yang tersebut di dalam satu hadits yang shahih dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah pernah berkata, “Keutamaan Aisyah atas para wanita yang lain bagai keutamaan tsarid (bubur daging) atas jenis makanan yang lain.” Diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no 3558 dan lainnya) dan Muslim (hadits no. 2431 dan 2446)

Ia wafat pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 atau 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Lihat biografinya dalam Al-Ishabah (VIII/16), Al-Isti’ab (IV/1881), Siyar A’lam An-Nubala (II/135), Taqrib At-Tahdzib (I/750), Ats-Tsiqat (III/3230) dan kitab-kitab biografi lainnya. –Radhiyallahu ‘anha wa ardhaha-

MAKNA KATA DAN KALIMAT

(أَحْدَثَ) bermakna (اِخْتَرَعَ = membuat/menciptakan –sesuatu yang baru-) Lihat Fathul Bari (V/357), cet. Dar Ar-Rayyan li At-Turots, Kairo, th. 1407 H.
(أَمْرُِنَا) maknanya adalah (دِيْننَا = agama kami) atau (شَرْعُنَا = syariat kami) Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163), cet. Daar Ibnu Al-Jauzi, Dammam-KSA, th. 1415H.
(رَدٌّ) maknanya (مَرْدُوْدٌ = tertolak/tidak diterima) Lihat Fathul Bari (V/357); dan Syarah Shahih Muslim (XII/15) cet. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, th. 1415H.

Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang memunculkan atau membuat suatu perkara baru dalam agama atau syariat ini yang tidak ada asal atau dasar darinya, maka perkara itu tertolak. Secara tekstual hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada dasarnya dari syariat berarti amalan tersebut tertolak. Dan secara kontekstual menunjukkan bahwa setiap amalan yang ada dasarnya dari syariat berarti tidak tertolak atau dengan kata lain bahwa amalan tersebut diterima. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163) dan Qawaid wa Fawaid (hal. 76).

Lafal yang kedua lebih umum dari yang pertama Lihat Fathul Bari (V/357)., dan di dalamnya terkandung tambahan makna, yaitu bahwa bila ada seseorang yang melakukan bid‘ah yang sudah ada sebelumnya lalu mengatakan, “Saya tidak mengadakan perkara baru,” maka perkataannya tersebut terbantahkan oleh lafal yang kedua yang secara jelas menolak segala bid‘ah yang dibuat-buat, baik yang baru diadakan maupun yang sudah dibuat sebelumnya. Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).

KEDUDUKAN HADITS Lihat Qawaid wa Fawaid (hal. 75).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk di antara pokok-pokok serta kaidah landasan ajaran agama Islam.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk di antara –hadits-hadits- yang patut dihapal (dijaga), digunakan untuk memberantas segala kemungkaran, serta patut untuk disebarkan dalam berdalil dengannya.” Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).
Ath-Thuruqi berkata, “Hadits ini pantas disebut sebagai separuh dalil-dalil syariat karena yang dituntut dalam berdalil adalah menetapkan hukum atau menampiknya, dan hadits ini adalah kunci terbesar dalam menetapkan atau menampik setiap hukum syariat.” Lihat Fathul Bari (V/357).

Ibnu Rajab berkata, “Dan hadits ini merupakan landasan yang agung di antara landasan-landasan ajaran Islam dan ia merupakan timbangan bagi amalan lahir. Sebagaimana bahwa hadits(اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) Telah dibahas dalam majalah Fatawa volume 1 dan 2 tahun I.
adalah timbangan bagi amalan batin.” Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/162).

FAEDAH-FAEDAH
Hadits ini termasuk di antara perkataan-perkataan Nabi yang singkat namun padat isinya (Jawami’ul Kalim) Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15)..
Banyak faedah yang dapat kita ambil darinya, dan yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban Mengikuti Syariat dalam Beragama
Secara kontekstual (tersirat) hadits ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, maupun yang lainnya, kita wajib untuk mengikuti syariat yang Allah turunkan kepada Nabi yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah dalil-dalil berikut :

a. Dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)

Firman Allah :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)

b. Dari As-Sunnah
Sabda Nabi :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149). Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149).
sabda Nabi dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah :
“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”

2. Larangan Mengadakan Bid‘ah dalam Agama
Adapun secara tekstual (tersurat), hadits ini menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang diada-adakan dalam agama tidaklah memiliki dasar dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Ibnu Hajar berkata, “Dan (hadits ini) mengandung penolakan terhadap segala perkara (bid‘ah) yang diada-adakan dan bahwa larangan di sini menunjukkan –bahwa perkara tersebut- batil karena segala perkara yang dilarang bukanlah termasuk bagian dari (perkara urusan) agama sehingga wajib untuk ditolak.”

Bid‘ah pada hakikatnya adalah ‘sesuatu (yang baru) yang diada-adakan dalam agama yang menandingi cara yang –telah- disyari’atkan dengan tujuan agar mendapat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah. Padahal kita telah diperintahkan untuk ber-ittiba’ (mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasul ) dan dilarang untuk melakukan bid‘ah karena agama Islam ini telah sempurna sehingga sudah cukup dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang telah diterima oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Mukhtarat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz (hal.271), cet. Jam’iyyah Ihya At-Turots,
th. 1418 H.

Maka seorang yang membuat atau melakukan bid‘ah berarti telah berbuat lancang terhadap Allah sebagai pemilik tunggal hak dalam hal membuat syariat. Dan seolah-olah dia mengatakan bahwa syariat ini belum sempurna, dan bahwasanya masih ada sesuatu yang harus atau perlu ditambah atau dikoreksi karena kalau dia meyakini akan kesempurnaan syariat dari segala sisinya, niscaya dia tidak akan berbuat bid‘ah dan tidak akan menambah atau mengoreksinya.

Ibnu Al-Majisun berkata, aku mendengar Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah dalam Islam dan dia memandangnya baik, berarti dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah (yakni tidak menyampaikannya secara sempurna), karena Allah telah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.S. Al-Maidah:3)
Maka apa yang pada hari itu (masa nabi) bukan merupakan agama, berarti bukan pula merupakan agama pada hari ini.” Lihat Al-I’tisham (1/64) cet. Daar Ibnu ‘Affan, Khubar-KSA, th. 1418 H, dan lihat juga risalah Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 10).

3. Macam-macam Bid‘ah
Melihat kepada jenisnya, bid‘ah itu terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Bid‘ah haqiqiyyah, yaitu bid‘ah yang tidak ada satu pun dalil syar’i yang menunjukkannya. Tidak dari Kitab, Sunnah maupun ijma’, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, mengadakan peryaan maulud nabi dan tahun baru.

b. Bid‘ah idhafiyyah, yaitu memasukkan ke dalam syari’at sesuatu yang bersumber dari diri si pelaku bid‘ah sehingga mengeluarkan syari’at dari asal karena sebab penambahan yang dilakukan si pembuat bid‘ah yang dari satu sisi disyari’atkan tetapi si pelaku bid‘ah memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bersumber dari dirinya sehingga mengeluarkannya dari asal disyari’atkannya, karena perbuatan si pelaku bid‘ah tadi. Kebanyakan bid‘ah yang tersebar di tengah-tengah masyarakat adalah dari jenis ini. Seperti shaum (puasa), ia adalah ibadah yang disyari’atkan, namun bila seseorang mengatakan, “Saya akan berpuasa sambil berdiri dan tidak akan duduk di terik matahari dan tidak akan berteduh,” maka (tambahan persyaratan yang ia tetapkan itulah bid‘ahnya sehingga puasa yang pada awalnya disyari’atkan menjadi tidak disyari’atkan dikarenakan bid‘ah yang ia tambahkan dalam puasa tersebut). Jadilah dia telah berbuat bid‘ah Lihat Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 14-15) dan lihat juga pembahasan ini dalam Al-I’tisham (1/367).

Dan dari sisi objeknya, bid‘ah tersebut bisa terjadi dalam semua perkara agama, diantaranya :

Dalam aqidah, seperti bid‘ahnya kelompok-kelompok sesat semisal Khawarij Kelompok yang keluar dari kepempinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Rafidhah (Sekte Syi’ah yang amat melampaui batas, yang diantaranya mengatakan bahwa para sahabat Nabi telah merubah dan mengurangi Al-Qur’an :

a. Jahmiyyah Kelompok pengikut Jahm bin Shafwan, yang diantaranya mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk., dan yang lainnya.
b. Dalam ibadah, seperti berdzikir dengan tatacara dan bentuk tertentu dan dilakukan secara berjama’ah serta satu suara (koor).
c. Dalam Mu’amalah, seperti menikahi wanita yang haram dinikahi, baik karena adanya hubungan nasab, satu susuan atau yang lainnya.
Adapun dari sisi akibatnya dapat dibagi dua, yaitu:
a. Bid‘ah mukaffirah, yaitu yang dapat menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam.
b. Bid‘ah mufassiqah, yaitu yang pelakunya dihukumi dengan kefasikan atau dalam kategori kemaksiatan, tidak mengeluarkannya dari Islam.

Catatan :
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhati-hati dan jangan terburu-buru menolak atau tidak menerima suatu amalan lalu berdalil dengan hadits ini, hendaknya dia melihat dulu perkataan para ulama tentang masalah tersebut, memperhatikan batasan-batasan (dhawabith) dan kaidah-kaidah (ushul) yang dengan itu semua dia bisa menghukumi apakah memang amalan tersebut tertolak dan tidak diterima.

Kesimpulan :
1. Islam adalah agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada penambahan, pengurangan atau koreksi.
2. Mengikuti syari’at (ittiba’) merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
3. Bid‘ah merupakan salah satu pembatal amal ibadah seseorang dan dapat menjerumuskannya dalam kesesatan.
-Wallahu A’lam bish-shawab-
Sumber: http://muslim.or.id/?p=39
________________________________________
.:: HaditsWeb ::.
http://opi.110mb.com

Semoga yang dimuat di dalam HaditsWeb benar-benar membuat kita faham tentang betapa pentingnya untuk menghidupkan sunnah Rosulullah SAW, dan menghindari perbuatan-perbuatan bid’ah.


Lalu, bagaimana pokok bahasan kita tentang puasa Nabi Daud AS, mari kita simak yang di bawah ini.


Dalam terjemah Indonesia Hadits Shahih Bukhari, Widjaya Jakarta, no. 979 dan 980 sebagai berikut:

979. Dari Abdulloh bin ‘Amru bin ‘Ash r.a., katanya

Rosululloh SAW bersabda kepadanya:”Wahai Abdulloh! Benarkah kabar orang kepadaku, bahwa engkau puasa sepanjang siang dan bangun untuk sholat sepanjang malam?”

Jawabku,”Benar, ya, Rosululloh!”

Sabda Nabi SAW,”Janganlah engkau lakukan lagi. Puasalah sehari dan berbuka sehari. Bangunlah dan tidurlah! Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, istrimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak atasmu. Dan sesungguhnya cukuplah kiranya jika engkau puasa tiap-tiap bulan tiga hari. Maka untuk setiap kebaikanmu akan di balas sepuluh kali lipat. Sesungguhnya yang demikian itu sama dengan puasa sepanjang masa.

Karena aku minta diperbanyak, maka diperbanyak untukku.

Aku berkata,”Ya, Rosululloh! Sesungguhnya aku sanggup.

Jawab Nabi SAW,”Puuasalah seperti puasa Nabi Dawud ‘Alaihi Salam, dan jangan engkau lebih dari itu.”

Tanyaku,”Bagaimana puasa Nabi Dawud ‘Alaihi Salam?”

Sabda Beliau,”Seperdua masa.”

Setelah masa tuanya, Abdulloh berkata,”Wahai kiranya, saya terima kelonggaran dari Nabi SAW.”


980. Dari Abdulloh bin ‘Amru r.a., katanya:

”Diceritakan orang kepada Rosululloh SAW, bahwa aku pernah bersumpah, “Demi Alloh! Sesungguhnya aku akan puasa sepanjang siang dan aku berdiri (sholat) sepanjang malam, selama hidupku.”

Kataku kepada rosululloh SAW,’Benar, ya Rosululloh! Sesungguhnya saya telah berkata demikian. Saya tebus engkau dengan bapak dan ibuku.”

Lebih lengkapnya dalam terjemah versi bahasa inggris, http://www.imaanstar.com sebagai berikut:

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 195
Narrated 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'As:
"Once Allah's Apostle came to me," and then he narrated the whole narration, i.e. your guest has a right on you, and your wife has a right on you. I then asked about the fasting of David. The Prophet replied, "Half of the year," (i.e. he used to fast on every alternate day).

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 196
Narrated 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'As:
Allah's Apostle said to me, "O 'Abdullah! Have I not been informed that you fast during the day and offer prayers all the night." 'Abdullah replied, "Yes, O Allah's Apostle!" The Prophet said, "Don't do that; fast for few days and then give it up for few days, offer prayers and also sleep at night, as your body has a right on you, and your wife has a right on you, and your guest has a right on you. And it is sufficient for you to fast three days in a month, as the reward of a good deed is multiplied ten times, so it will be like fasting throughout the year." I insisted (on fasting) and so I was given a hard instruction. I said, "O Allah's Apostle! I have power." The Prophet said, "Fast like the fasting of the Prophet David and do not fast more than that." I said, "How was the fasting of the Prophet of Allah, David?" He said, "Half of the year," (i.e. he used to fast on every alternate day).
Afterwards when 'Abdullah became old, he used to say, "It would have been better for me if I had accepted the permission of the Prophet (which he gave me i.e. to fast only three days a month)."

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 197
Narrated 'Abdullah bin 'Amr:
Allah's Apostle was informed that I had taken an oath to fast daily and to pray (every night) all the night throughout my life (so Allah's Apostle came to me and asked whether it was correct): I replied, "Let my parents be sacrificed for you! I said so." The Prophet said, "You can not do that. So, fast for few days and give it up for few days, r ray and sleep. Fast three days a month as the reward of good deeds is multiplied ten times and that will be equal to one year of fasting." I replied, "I can do better than that." The Prophet said to me, "Fast one day and give up fasting for a day and that is the fasting of Prophet David and that is the best fasting." I said, "I have the power to fast better (more) than that." The Prophet said, "There is no better fasting than that."

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 198
Narrated 'Abdullah bin 'Amr:
The news of my daily fasting and praying every night throughout the night reached the Prophet. So he sent for me or I met him, and he said, "I have been informed that you fast everyday and pray every night (all the night). Fast (for some days) and give up fasting (for some days); pray and sleep, for your eyes have a right on you, and your body and your family (i.e. wife) have a right on you." I replied, "I have more power than that (fasting)." The Prophet said, "Then fast like the fasts of (the Prophet) David". I said, "How?" He replied, "He used to fast on alternate days, and he used not to flee on meeting the enemy." I said, "From where can I get that chance?" ('Ata' said, "I do not know how the expression of fasting daily throughout the life occurred.") So, the Prophet said, twice, "Whoever fasts daily throughout his life is just as the one who does not fast at all."

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 199
Narrated Mujahid from 'Abdullah bin 'Amr:
The Prophet said (to 'Abdullah), "Fast three days a month." 'Abdullah said, (to the Prophet) "I am able to fast more than that." They kept on arguing on this matter till the Prophet said, "Fast on alternate days, and recite the whole Qur'an once a month." 'Abdullah said, "I can recite more (in a month)," and the argument went on till the Prophet said, "Recite the Qur'an once each three days." (i.e. you must not recite the whole Qur'an in less than three days).

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 200
Narrated 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'As:
The Prophet said to me, "You fast daily all the year and pray every night all the night?" I replied in the affirmative. The Prophet said, "If you keep on doing this, your eyes will become weak and your body will get tired. He who fasts all the year is as he who did not fast at all. The fasting of three days (a month) will be equal to the tasting of the whole year." I replied, "I have the power for more than this." The Prophet said, "Then fast like the fasting of David who used to fast on alternate days and would never flee from the battle field, on meeting the enemy.

Fasting
Bukhari :: Book 3 :: Volume 31 :: Hadith 201
Narrated 'Abdullah bin 'Amr:
Allah's Apostle was informed about my fasts, and he came to me and I spread for him a leather cushion stuffed with palm fires, but he sat on the ground and the cushion remained between me and him, and then he said, "Isn't it sufficient for you to fast three days a month?" I replied, "O Allah's Apostle! (I can fast more)." He said, "Five?" I replied, "O Allah's Apostle! (I can fast more)." He said, "Seven?" I replied, "O Allah's Apostle! (I can fast more)." He said, "Nine (days per month)?" I replied, "O Allah's Apostle! (I can fast more)" He said, "Eleven (days per month)?" And then the Prophet said, "There is no fast superior to that of the Prophet David it was for half of the year. So, fast on alternate days."

Kesimpulan:

I. Sahabat Rosulullah SAW yang bernama Abdullah bin Amr bin Al Ash, yang ghirah—mempunyai keinginan kuat untuk beribadah, diperintahkan oleh Rosulullah SAW untuk menjalankan puasa sunnah yang terbaik, yaitu puasa Nabi Daud AS.

II. Rosulullah SAW sendiri tidak melakukan puasa Nabi Daud AS ini. Dalam ilmu hadits dikenal “Bentuk-bentuk Hadits”, sebagai berikut:

1. Hadits Qouli: segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak, maupun lainnya.
2. Hadits Fi’li: segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.
3. Hadits Taqriri: segala hadits yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat setelah memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
4. Hadits Hammi: hadits yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan.
5. Hadits Ahwâli: hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.

Dalam kasus puasa Nabi Daud AS, inilah yang termasuk dalam “Hadits Tagriri”.

Sumber: Ilmu Hadis, Rajawali Pers

III. Puasa merupakan salah satu media yang terbaik untuk berdoa kepada Allah SWT.

Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: (1) Orang yang berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3) Dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)

Semoga pengetahuan ini benar-benar bermanfaat bagi rekan-rekan dan untuk memberitahukan hal ini kepada rekan-rekan lain yang belum tahu sebagai aplikasi kita untuk menyampaikan kebaikan walau sedikit yang kita ketahui sehingga tercatat sebagai amal baik kita selagi hidup di dunia.

Surat 99. AZ-ZALZALAH - Ayat 7-8:

“7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula..”

2 komentar:

AIRI ARI mengatakan...

selain hadis web Opi 101 zen ada apa lagi??

Sop Iga Sapi Cirebon mengatakan...

imaan star juga bagus, tapi bahasa inggris.